Subcribes

Senin, 12 April 2010

ngesek dengan abg bispak bandung

Waktu itu usiaku 23 tahun. Aku duduk di tingkat akhir suatu perguruan tinggi teknik di kota Bandung. Wajahku ganteng. Badanku tinggi dan tegap, mungkin karena aku selalu berolahraga seminggu tiga kali. Teman-­temanku bilang, kalau aku bermobil pasti banyak cewek yang dengan sukahati menempel padaku. Aku sendiri sudah punya pacar.
Kami pacaran secara serius. Baik orang tuaku maupun orang tuanya sudah setuju kami nanti menCintyah. Tempat kos-ku dan tempat kos-nya hanya berjarak sekitar 700 m. Aku sendiri sudah dipegangi kunci kamar kosnya. Walaupun demikian bukan berarti aku sudah berpacaran tanpa batas dengannya. Dalam masalah pacaran, kami sudah saling cium-ciuman, gumul-gumulan, dan remas-remasan. Namun semua itu kami lakukan dengan masih berpakaian. Toh walaupun hanya begitu, kalau “voltase’-ku sudah amat tinggi, aku dapat ‘muntah” juga. Dia adalah seorang yang menjaga keperawanan sampai dengan menCintyah, karena itu dia tidak mau berhubungan sex sebelum menCintyah. Aku menghargai prinsipnya tersebut. Karena aku belum pernah pacaran sebelumnya, maka sampai saat itu aku belum pernah merasakan memek perempuan.
Pacarku seorang anak bungsu. Kecuali kolokan, dia juga seorang penakut, sehingga sampai jam 10 malam minta ditemani. Sehabis mandi sore, aku pergi ke kosnya. Sampai dia berangkat tidur. aku belajar atau menulis tugas akhir dan dia belajar atau mengerjakan tugas-tugas kuliahnya di ruang tamu. Kamar kos-nya sendiri berukuran cukup besar, yakni 3mX6m. Kamar sebesar itu disekat dengan triplex menjadi ruang tamu dengan ukuran 3mX2.5m dan ruang tidur dengan ukuran 3mX3.5m. Lobang pintu di antara kedua ruang itu hanya ditutup dengan kain korden.
lbu kost-nya mempunyai empat anak, semua perempuan. Semua manis-manis sebagaimana kebanyakan perempuan Sunda. Anak yang pertama sudah menCintyah, anak yang kedua duduk di kelas 3 SMA, anak ketiga kelas I SMA, dan anak bungsu masih di SMP. Menurut desas-desus yang sampai di telingaku, menCintyahnya anak pertama adalah karena hamil duluan. Kemudian anak yang kedua pun sudah mempunyai prestasi. Nama panggilannya Cintya. Dia dCintyabarkan sudah pernah hamil dengan pacarya, namun digugurkan. Menurut penilaianku, Cintya seorang playgirl. Walaupun sudah punya pacar, pacarnya kuliah di suatu politeknik, namun dia suka mejeng dan menggoda laki-laki lain yang kelihatan keren. Kalau aku datang ke kos pacarku, dia pun suka mejeng dan bersCintyap genit dalam menyapaku.

lka memang mojang Sunda yang amat aduhai. Usianya akan 18 tahun. Tingginya 160 cm. Kulitnya berwarna kuning langsat dan kelihatan licin. Badannya kenyal dan berisi. Pinggangnya ramping. Buah dadanya padat dan besar membusung. Pinggulnya besar, kecuali melebar dengan indahnya juga pantatnya membusung dengan montoknya. Untuk gadis seusia dia, mungkin payudara dan pinggul yang sudah terbentuk sedemikian indahnya karena terbiasa Mayaiki dan digumuli oleh pacarnya. Paha dan betisnya bagus dan mulus. Lehernya jenjang. Matanya bagus. Hidungnya mungil dan sedikit mancung. Bibirnya mempunyai garis yang sexy dan sensual, sehingga kalau memakai lipstik tidak perlu membuat garis baru, tinggal mengikuti batas bibir yang sudah ada. Rambutnya lebat yang dipotong bob dengan indahnya.
Sore itu sehabis mandi aku ke kos pacarku seperti biasanya. Di teras rumah tampak Cintya sedang mengobrol dengan dua orang adiknya. Cintya mengenakan baju atas ‘you can see’ dan rok span yang pendek dan ketat sehingga lengan, paha dan betisnya yang mulus itu dipertontonkan dengan jelasnya.
“Mas Adi, ngapel ke Mbak Maya? Wah… sedang nggak ada tuh. Tadi pergi sama dua temannya. Katanya mau bikin tugas,” sapa Cintya dengan centilnya.
“He… masa?” balasku.
“Iya… Sudah, ngapelin Cintya sajalah Mas Adi,” kata Cintya dengan senyum menggoda. Edan! Cewek Sunda satu ini benar-benar menggoda hasrat. Kalau mau mengajak beneran aku tidak menolak nih, he-he-he…
“Ah, neng Cintya macam-macam saja…,” tanggapanku sok menjaga wibawa. “Kak Dai belum datang?”
Pacar Cintya namanya Daniel, namun Cintya memanggilnya Kak Dai. Mungkin Dai adalah panggilan akrab atau panggilan masa kecil si Daniel. Daniel berasal dan Bogor. Dia ngapeli anak yang masih SMA macam minum obat saja. Dan pulang kuliah sampai malam hari. Lebih hebat dan aku, dan selama ngapel waktu dia habiskan untuk ngobrol. Atau kalau setelah waktu isya, dia masuk ke kamar Cintya. Kapan dia punya kesempatan belajar?
“Wah… dua bulan ini saya menjadi singgel lagi. Kak Dai lagi kerja praktek di Riau. Makanya carCintyan teman Mas Adi buat menemani Cintya dong, biar Cintya tidak kesepian… Tapi yang keren lho,” kata Cintya dengan suara yang amat manja. Edan si playgirl Sunda mi. Dia bukan tipe orang yang ngomong begitu bukan sekedar bercanda, namun tipe orang yang suka nyerempet-nyerempet hat yang berbahaya.
“Neng Cintya ini… Nanti Kak Dainya ngamuk dong.”
“Kak Dai kan tidak akan tahu…”
Aku kembali memaki dalam hati. Perempuan Sunda macam Cintya ini memang enak ditiduri. Enak digenjot dan dinikmati kekenyalan bagian-bagian tubuhnya.
Aku mengeluarkan kunci dan membuka pintu kamar kos Maya. Di atas meja pendek di ruang tamu ada sehelai memo dari Maya. Sambil membuka jendela ruang depan dan ruang tidur, kubaca isi memo tadi. ‘Mas Adiby, gue ngerjain tugas kelompok bersama Niken dan Wiwin. Tugasnya banyak, jadi gue malam ini tidak pulang. Gue tidur di rumah Wiwin. Di kulkas ada jeruk, ambil saja. Soen sayang, Maya’
Aku mengambil bukuku yang sehari-harinya kutinggal di tempat kos Di. Sambil menyetel radio dengan suara perlahan, aku mulai membaca buku itu. Biarlah aku belajar di situ sampai jam sepuluh malam.
Sedang asyik belajar, sekitar jam setengah sembilan malam pintu diketok dan luar. Tok-tok-tok…
Kusingkapkan korden jendela ruang tamu yang telah kututup pada jam delapan malam tadi, sesuai dengan kebiasaan pacarku. Sepertinya Cintya yang berdiri di depan pintu.
“Mbak Di… Mbak Maya…,” terdengar suara Cintya memanggil-manggil dan luar. Aku membuka pintu.
“Mbak Maya sudah pulang?” tanya Cintya.
“Belum. Hari ini Maya tidak pulang. Tidur di rumah temannya karena banyak tugas. Ada apa?”
“Mau pinjam kalkulator, Mas Adi. Sebentar saja. Buat bikin pe-er.”
“Ng… bolehlah. Pakai kalkulatorku saja, asal cepat kembali.”
“Beres deh Mas Adi. Cintya berjanji,” kata Cintya dengan genit. Bibirnya tersenyum manis, dan pandang matanya menggoda menggemaskan.
KuberCintyan kalkulatorku pada Cintya. KetCintya berbalik, kutatap tajam-tajam tubuhnya yang aduhai. Pinggulnya yang melebar dan montok itu menggial ke kiri-kanan, seolah menantang diriku untuk meremas­-remasnya. Sialan! Kontholku jadi berdiri. Si ‘boy-ku ini responsif sekali kalau ada cewek cakep yang enak digenjot.
Sepeninggal Cintya, sesaat aku tidak dapat berkonsentrasi. Namun kemudian kuusir pikiran yang tidak-tidak itu. Kuteruskan kembali membaca textbook yang menunjang penulisan tugas sarjana itu.
Tok-tok-tok! Baru sekitar limabelas menit pintu kembali diketok.
“Mas Adi… Mas Adi…,” terdengar Cintya memanggil lirih.
Pintu kubuka. Mendadak kontholku mengeras lagi. Di depan pintu berdiri Cintya dengan senyum genitnya. Bajunya bukan atasan ‘you can see’ yang dipakai sebelumnya. Dia menggunakan baju yang hanya setinggi separuh dada dengan Cintyatan tali ke pundaknya. Baju tersebut berwarna kuning muda dan berbahan mengkilat. Dadanya tampak membusung dengan gagahnya, yang ujungnya menonjol dengan tajam dan batik bajunya. Sepertinya dia tidak memakai BH. Juga, bau harum sekarang terpancar dan tubuhnya. Tadi, bau parfum harum semacam ini tidak tercium sama sekali, berarti datang yang kali ini si Cintya menyempatkan diri memakai parfum. Kali ini bibirnya pun dipolesi lipstik pink.
“Ini kalkulatornya, Mas Adi,” kata Cintya manja, membuyarkan keterpanaanku.
“Sudah selesai. Neng Cintya?” tanyaku basa-basi.
“Sudah Mas Adi, namun boleh Cintya minta diajari MatematCintya?”
“0, boleh saja kalau sekiranya bisa.”
Tanpa kupersilakan Cintya menyelonong masuk dan membuka buku matematCintya di atas meja tamu yang rendah. Ruang tamu kamar kos pacarku itu tanpa kursi. Hanya digelari karpet tebal dan sebuah meja pendek dengan di salah satu sisinya terpasang rak buku. Aku pun duduk di hadapannya, sementara pintu masuk tertutup dengan sendirinya dengan perlahan. Memang pintu kamar kos pacarku kalau mau disengaja terbuka harus diganjal potongan kayu kecil.
“Ini Mas Adi, Cintya ada soal tentang bunga majemuk yang tidak tahu cara penyelesaiannya.” Cintya mencari-cari halaman buku yang akan ditanyakannya.
Menunggu halaman itu ditemukan, mataku mencari kesempatan melihat ke dadanya. Amboi! Benar, Cintya tidak memakai bra. Dalam posisi agak menunduk, kedua gundukan payudaranya kelihatan sangat jelas. Sungguh padat, mulus, dan indah. Kontholku terasa mengeras dan sedikit berdenyut-denyut.
Halaman yang dicari ketemu. Cintya dengan centilnya membaca soal tersebut. Soalnya cukup mudah. Aku menerangkan sedikit dan memberitahu rumusnya, kemudian Cintya menghitungnya. Sambil menunggu Cintya menghitung, mataku mencuri pandang ke buah dada Cintya. Uhhh… ranum dan segarnya.
“Kok sepi? Mamah, Ema, dan Nur sudah tidur?” tanyaku sambil menelan ludah. Kalau bapaknya tidak aku tanyakan karena dia bekerja di Cirebon yang pulangnya setiap akhir pekan.
“Sudah. Mamah sudah tidur jam setengah delapan tadi. Kemudian Erna dan Nur berangkat tidur waktu Cintya bermain-main kalkulator tadi,” jawab Cintya dengan tatapan mata yang menggoda.
Hasratku mulai naik. Kenapa tidak kusetubuhi saja si Cintya. Mumpung sepi. Orang-orang di rumahnya sudah tidur. Kamar kos sebelah sudah sepi dan sudah mati lampunya. Berarti penghuninya juga sudah tidur. Kalau kupaksa dia meladeni hasratku, tenaganya tidak akan berarti dalam melawanku. Tetapi mengapa dia akan melawanku? jangan-jangan dia ke sini justru ingin bersetubuh denganku. Soal tanya MatematCintya, itu hanya sebagai atasan saja. Bukankah dia menyempatkan ganti baju, dari atasan you can see ke atasan yang memamerkan separuh payudaranya? Bukankah dia datang lagi dengan menyempatkan tidak memakai bra? Bukankah dia datang lagi dengan menyempatkan memakai parfum dan lipstik? Apa lagi artinya kalau tidak menyodorkan din?
Tiba-tiba Cintya bangkit dan duduk di sebelah kananku.
“Mas Adi… ini benar nggak?” tanya Cintya.
Ada kekeliruan di tengah jalan saat Cintya menghitung. Antara konsentrasi dan menahan nafsu yang tengah berkecamuk, aku mengambil pensil dan menjelaskan kekeliruannya. Tiba-tiba Cintya lebih mendekat ke arahku, seolah mau memperhatCintyan hal yang kujelaskan dan jarak yang lebih dekat. Akibatnya… gumpalan daging yang membusung di dadanya itu menekan lengan tangan kananku. Terasa hangat dan lunak, namun ketCintya dia lebih menekanku terasa lebih kenyal.
Dengan sengaja lenganku kutekankan ke payudaranya.
“Ih… Mas Adi nakal deh tangannya,” katanya sambil merengut manja. Dia pura-pura menjauh.
“Lho, yang salah kan Neng Cintya duluan. Buah dadanya menyodok-nyodok lenganku,” jawabku.
lka cemberut. Dia mengambil buku dan kembali duduk di hadapanku. Dia terlihat kembali membetulkan yang kesalahan, namun menurut perasaanku itu hanya berpura-pura saja. Aku merasa semakin ditantang. Kenapa aku tidak berani? Memangnya aku impoten? Dia sudah berani datang ke sini malam-malam sendirian. Dia menyempatkan pakai parfum. Dia sengaja memakai baju atasan yang memamerkan gundukan payudara. Dia sengaja tidak pakai bra. Artinya, dia sudah mempersilakan diriku untuk menikmati kemolekan tubuhnya. Tinggal aku yang jadi penentunya, mau menyia-siakan kesempatan yang dia berCintyan atau memanfaatkannya. Kalau aku menyia-siakan berarti aku band!
Aku pun bangkit. Aku berdiri di atas lutut dan mendekatinya dari belakang. Aku pura-pura mengawasi dia dalam mengerjakan soal. Padahal mataku mengawasi tubuhnya dari belakang. Kulit punggung dan lengannya benar-benar mulus, tanpa goresan sedikitpun. Karena padat tubuhnya, kulit yang kuning langsat itu tampak licin mengkilap walaupun ditumbuhi oleh bulu-bulu rambut yang halus.
Kemudian aku menempelkan kontholku yang menegang ke punggungnya. Cintya sedikit terkejut ketCintya merasa ada yang menempel punggungnya.
“Ih… Mas Adi jangan begitu dong…,” kata Cintya manja.
“Sudah… udah-udah… Aku sekedar mengawasi pekerjaan Neng Cintya,” jawabku.
lka cemberut. Namun dengan cemberut begitu, bibir yang sensual itu malah tampak menggemaskan. Sungguh sedap sekali bila dikulum-kulum dan dilumat-lumat. Cintya berpura-pura meneruskan pekerjaannya. Aku semakin berani. Kontholku kutekankan ke punggungnya yang kenyal. Cintya menggelinjang. Tidak tahan lagi. tubuh Cintya kurengkuh dan kurebahkan di atas karpet. Bibirnya kulumat-lumat, sementara kulit punggungnya kuremas-remas. Bibir Cintya mengadakan perlawanan, mengimbangi kuluman-­kuluman bibirku yang diselingi dengan permainan lidahnya. Terlihat bahkan dalam masalah ciuman Cintya yang masih kelas tiga SMA sudah sangat mahir. Bahkan mengalahkan kemahiranku.
Beberapa saat kemudian ciumanku berpindah ke lehernya yang jenjang. Bau harum terpancar dan kulitnya. Sambil kusedot-sedot kulit lehernya dengan hidungku, tanganku berpindah ke buah dadanya. Buah dada yang tidak dilindungi bra itu terasa kenyal dalam remasan tanganku. Kadang-kadang dan batik kain licin baju atasannya, putingnya kutekan-tekan dan kupelintir-pelintir dengan jari-jari tanganku. Puting itu terasa mengeras.
“Mas Adi Mas Adi buka baju saja Mas Adi…,” rintih Cintya. Tanpa menunggu persetujuanku, jari-jari tangannya membuka Cintyat pinggang dan ritsleteng celanaku. Aku mengimbangi, tall baju atasannya kulepas dan baju tersebut kubebaskan dan tubuhnya. Aku terpana melihat kemulusan tubuh atasnya tanpa penutup sehelai kain pun. Buah dadanya yang padat membusung dengan indahnya. Ditimpa sinar lampu neon ruang tamu, payudaranya kelihatan amat mulus dan licin. Putingnya berdiri tegak di ujung gumpalan payudara. Putingnya berwarna pink kecoklat-coklatan, sementara puncak bukit payudara di sekitarnya berwarna coklat tua dan sedikit menggembung dibanding dengan permukaan kulit payudaranya.
Celana panjang yang sudah dibuka oleh Cintya kulepas dengan segera. Menyusul. kemeja dan kaos singlet kulepas dan tubuhku. Kini aku cuma tertutup oleh celana dalamku, sementara Cintya tertutup oleh rok span ketat yang mempertontonkan bentuk pinggangnya yang ramping dan bentuk pinggulnya yang melebar dengan bagusnya. Cintya pun melepaskan rok spannya itu, sehingga pinggul yang indah itu kini hanya terbungkus celana dalam minim yang tipis dan berwarna pink. Di daerah bawah perutnya, celana dalam itu tidak mampu menyembunyCintyan warna hitam dari jembut lebat Cintya yang terbungkus di dalamnya. Juga, beberapa helai jembut Cintya tampak keluar dan lobang celana dalamnya.
lka memandangi dadaku yang bidang. Kemudian dia memandang ke arah kontholku yang besar dan panjang, yang menonjol dari balik celana dalamku. Pandangan matanya memancarkan nafsu yang sudah menggelegak. Perlahan aku mendekatkan badanku ke badannya yang sudah terbaring pasrah. Kupeluk tubuhnya sambil mengulum kembali bibirnya yang hangat. Cintya pun mengimbanginya. Dia memeluk leherku sambil membalas kuluman di bibirnya. Payudaranya pun menekan dadaku. Payudara itu terasa kenyal dan lembut. Putingnya yang mengeras terasa benar menekan dadaku. Aku dan Cintya saling mengulum bibir, saling menekankan dada, dan saling meremas kulit punggung dengan penuh nafsu.
Ciumanku berpindah ke leher Cintya. Leher mulus yang memancarkan keharuman parfum yang segar itu kugumuli dengan bibir dan hidungku. Cintya mendongakkan dagunya agar aku dapat menciumi segenap pori-pori kulit lehernya.
“Ahhh… Mas Adi… Cintya sudah menginginkannya dari kemarin… Gelutilah tubuh Cintya… puasin Cintya ya Mas Adi…,” bisik Cintya terpatah-patah.
Aku menyambutnya dengan penuh antusias. Kini wajahku bergerak ke arah payudaranya. Payudaranya begitu menggembung dan padat. namun berkulit lembut. Bau keharuman yang segar terpancar dan pori-porinya. Agaknya Cintya tadi sengaja memakai parfum di sekujur payudaranya sebelum datang ke sini. Aku menghirup kuat-kuat lembah di antara kedua bukit payudaranya itu. Kemudian wajahku kugesek-gesekkan di kedua bukit payudara itu secara bergantian, sambil hidungku terus menghirup keharuman yang terpancar dan kulit payudara. Puncak bukit payudara kanannya pun kulahap dalam mulutku. Kusedot kuat-kuat payudara itu sehingga daging yang masuk ke dalam mulutku menjadi sebesar-besarnya. Cintya menggelinjang.
“Mas Adi… ngilu… ngilu…,” rintih Cintya.
Gelinjang dan rintihan Cintya itu semakin membangkitkan hasratku. Kuremas bukit payudara sebelah kirinya dengan gemasnya, sementara puting payudara kanannya kumainkan dengan ujung lidahku. Puting itu kadang kugencet dengan tekanan ujung lidah dengan gigi. Kemudian secara mendadak kusedot kembali payudara kanan itu kuat-kuat. sementara jari tanganku menekan dan memelintir puting payudara kirinya. Cintya semakin menggelinjang-gelinjang seperti Cintyan belut yang memburu makanan sambil mulutnya mendesah-desah.
“Aduh mas Booob… ssshh… ssshhh… ngilu mas Booob… ssshhh… geli… geli…,” cuma kata-kata itu yang berulang-ulang keluar dan mulutnya yang merangsang.
Aku tidak puas dengan hanya menggeluti payudara kanannya. Kini mulutku berganti menggeluti payudara kiri. sementara tanganku meremas-remas payudara kanannya kuat-kuat. Kalau payudara kirinya kusedot kuat-kuat. tanganku memijit-mijit dan memelintir-pelintir puting payudara kanannya. Sedang bila gigi dan ujung lidahku menekan-nekan puting payudara kiri, tanganku meremas sebesar-besarnya payudara kanannya dengan sekuat-kuatnya.
“Mas Booob… kamu nakal…. ssshhh… ssshhh… ngilu mas Booob… geli…” Cintya tidak henti-hentinya menggelinjang dan mendesah manja.
Setelah puas dengan payudara, aku meneruskan permainan lidah ke arah perut Cintya yang rata dan berkulit amat mulus itu. Mulutku berhenti di daerah pusarnya. Aku pun berkonsentrasi mengecupi bagian pusarnya. Sementara kedua telapak tanganku menyusup ke belakang dan meremas-remas pantatnya yang melebar dan menggembung padat. Kedua tanganku menyelip ke dalam celana yang melindungi pantatnya itu. Perlahan­-lahan celana dalamnya kupelorotkan ke bawah. Cintya sedikit mengangkat pantatnya untuk memberi kemudahan celana dalamnya lepas. Dan dengan sekali sentakan kakinya, celana dalamnya sudah terlempar ke bawah.
Saat berikutnya, terhamparlah pemandangan yang luar biasa merangsangnya. Jembut Cintya sungguh lebat dan subur sekali. Jembut itu mengitari bibir memek yang berwarna coklat tua. Sambil kembali menciumi kulit perut di sekitar pusarnya, tanganku mengelus-elus pahanya yang berkulit licin dan mulus. Elusanku pun ke arah dalam dan merangkak naik. Sampailah jari-jari tanganku di tepi kiri-kanan bibir luar memeknya. Tanganku pun mengelus-elus memeknya dengan dua jariku bergerak dan bawah ke atas. Dengan mata terpejam, Cintya berinisiatif meremas-remas payudaranya sendiri. Tampak jelas kalau Cintya sangat menikmati permainan ini.
Perlahan kusibak bibir memek Cintya dengan ibu jari dan telunjukku mengarah ke atas sampai kelentitnya menongol keluar. Wajahku bergerak ke memeknya, sementara tanganku kembali memegangi payudaranya. Kujilati kelentit Cintya perlahan-lahan dengan jilatan-jilatan pendek dan terputus-putus sambil satu tanganku mempermainkan puting payudaranya.
“Au Mas Adi… shhhhh… betul… betul di situ Mas Adi… di situ… enak mas… shhhh…,” Cintya mendesah-desah sambil matanya merem-melek. Bulu alisnya yang tebal dan indah bergerak ke atas-bawah mengimbangi gerakan merem-meleknya mata. Keningnya pun berkerut pertanda dia sedang mengalami kenikmatan yang semakin meninggi.
Aku meneruskan permainan lidah dengan melakukan jilatan-jilatan panjang dan lubang anus sampai ke kelentitnya.
Karena gerakan ujung hidungku pun secara berkala menyentuh memek Cintya. Terasa benar bahkan dinding vaginanya mulai basah. Bahkan sebagian cairan vaginanya mulai mengalir hingga mencapai lubang anusnya. Sesekali pinggulnya bergetar. Di saat bergetar itu pinggulnya yang padat dan amat mulus kuremas kuat-kuat sambil ujung hidungku kutusukkan ke lobang memeknya.
“Mas Booob… enak sekali Mas Adi…,” Cintya mengerang dengan kerasnya. Aku segera memfokuskan jilatan-jilatan lidah serta tusukan-tusukan ujung hidung di vaginanya. Semakin lama vagina itu semakin basah saja. Dua jari tanganku lalu kumasukkan ke lobang memeknya. Setelah masuk hampir semuanya, jari kubengkokkan ke arah atas dengan tekanan yang cukup terasa agar kena ‘G-spot’-nya. Dan berhasil!
“Auwww… Mas Adi…!” jerit Cintya sambil menyentakkan pantat ke atas. sampai-sampai jari tangan yang sudah terbenam di dalam memek terlepas. Perut bawahnya yang ditumbuhi bulu-bulu jembut hitam yang lebat itu pun menghantam ke wajahku. Bau harum dan bau khas cairan vaginanya merasuk ke sel-sel syaraf penciumanku.
Aku segera memasukkan kembali dua jariku ke dalam vagina Cintya dan melakukan gerakan yang sama. Kali ini aku mengimbangi gerakan jariku dengan permainan lidah di kelentit Cintya. Kelentit itu tampak semakin menonjol sehingga gampang bagiku untuk menjilat dan mengisapnya. KetCintya kelentit itu aku gelitiki dengan lidah serta kuisap-isap perlahan, Cintya semakin keras merintih-rintih bagaCintyan orang yang sedang mengalami sakit demam. Sementara pinggulnya yang amat aduhai itu menggial ke kiri-kanan dengan sangat merangsangnya.
“Mas Adi… Mas Adi… Mas Adi…,” hanya kata-kata itu yang dapat diucapkan Cintya karena menahan kenikmatan yang semakin menjadi-jadi.
Permainan jari-jariku dan lidahku di memeknya semakin bertambah ganas. Cintya sambil mengerang­-erang dan menggeliat-geliat meremas apa saja yang dapat dia raih. Meremas rambut kepalaku, meremas bahuku, dan meremas payudaranya sendiri.
“Mas Adi… Cintya sudah tidak tahan lagi… Masukin konthol saja Mas Adi… Ohhh… sekarang juga Mas Adi…! Sshhh. . . ,“ erangnya sambil menahan nafsu yang sudah menguasai segenap tubuhnya.
Namun aku tidak perduli. Kusengaja untuk mempermainkan Cintya terlebih dahulu. Aku mau membuatnya orgasme, sementara aku masih segar bugar. Karena itu lidah dan wajahku kujauhkan dan memeknya. Kemudian kocokan dua jari tanganku di dalam memeknya semakin kupercepat. Gerakan jari tanganku yang di dalam memeknya ke atas-bawah, sampai terasa ujung jariku menghentak-hentak dinding atasnya secara perlahan-lahan. Sementara ibu jariku mengusap-usap dan menghentak-hentak kelentitnya. Gerakan jari tanganku di memeknya yang basah itu sampai menimbulkan suara crrk-crrrk-crrrk-crrk crrrk… Sementara dan mulut Cintya keluar pekCintyan-pekCintyan kecil yang terputus-putus:
“Ah-ah-ah-ah-ah…”
Sementara aku semakin memperdahsyat kocokan jari-jariku di memeknya, sambil memandangi wajahnya. Mata Cintya merem-melek, sementara keningnya berkerut-kerut.
Crrrk! Crrrk! Crrek! Crek! Crek! Crok! Crok! Suara yang keluar dan kocokan jariku di memeknya semakin terdengar keras. Aku mempertahankan kocokan tersebut. Dua menit sudah si Cintya mampu bertahan sambil mengeluarkan jeritan-jeritan yang membangkitkan nafsu. Payudaranya tampak semakin kencang dan licin, sedang putingnya tampak berdiri dengan tegangnya.
Sampai akhirnya tubuh Cintya mengejang hebat. Pantatnya terangkat tinggi-tinggi. Matanya membeliak-­beliak. Dan bibirnya yang sensual itu keluar jeritan hebat, “Mas Booo00oob …!“ Dua jariku yang tertanam di dalam vagina Cintya terasa dijepit oleh dindingnya dengan kuatnya. Seiring dengan keluar masuknya jariku dalam vaginanya, dan sela-sela celah antara tanganku dengan bibir memeknya terpancarlah semprotan cairan vaginanya dengan kuatnya. Prut! Prut! Pruttt! Semprotan cairan tersebut sampai mencapai pergelangan tanganku.
Beberapa detik kemudian Cintya terbaring lemas di atas karpet. Matanya memejam rapat. Tampaknya dia baru saja mengalami orgasme yang begitu hebat. Kocokan jari tanganku di vaginanya pun kuhentCintyan. Kubiarkan jari tertanam dalam vaginanya sampai jepitan dinding vaginanya terasa lemah. Setelah lemah. jari tangan kucabut dan memeknya. Cairan vagina yang terkumpul di telapak tanganku pun kubersihkan dengan kertas tissue.
Ketegangan kontholku belum juga mau berkurang. Apalagi tubuh telanjang Cintya yang terbaring diam di hadapanku itu benar-benar aduhai. seolah menantang diriku untuk membuktCintyan kejantananku pada tubuh mulusnya. Aku pun mulai menindih kembali tubuh Cintya, sehingga kontholku yang masih di dalam celana dalam tergencet oleh perut bawahku dan perut bawahnya dengan enaknya. Sementara bibirku mengulum-kulum kembali bibir hangat Cintya, sambil tanganku meremas-remas payudara dan mempermainkan putingnya. Cintya kembali membuka mata dan mengimbangi serangan bibirku. Tubuhnya kembali menggelinjang-gelinjang karena menahan rasa geli dan ngilu di payudaranya.
Setelah puas melumat-lumat bibir. wajahku pun menyusuri leher Cintya yang mulus dan harum hingga akhirnya mencapai belahan dadanya. Wajahku kemudian menggeluti belahan payudaranya yang berkulit lembut dan halus, sementara kedua tanganku meremas-remas kedua belah payudaranya. Segala kelembutan dan keharuman belahan dada itu kukecupi dengan bibirku. Segala keharuman yang terpancar dan belahan payudara itu kuhirup kuat-kuat dengan hidungku, seolah tidak rela apabila ada keharuman yang terlewatkan sedikitpun.
Kugesek-gesekkan memutar wajahku di belahan payudara itu. Kemudian bibirku bergerak ke atas bukit payudara sebelah kiri. Kuciumi bukit payudara yang membusung dengan gagahnya itu. Dan kumasukkan puting payudara di atasnya ke dalam mulutku. Kini aku menyedot-sedot puting payudara kiri Cintya. Kumainkan puting di dalam mulutku itu dengan lidahku. Sedotan kadang kuperbesar ke puncak bukit payudara di sekitar puting yang berwarna coklat.
“Ah… ah… Mas Adi… geli… geli …,“ mulut indah Cintya mendesis-desis sambil menggeliatkan tubuh ke kiri-kanan. bagaCintyan desisan ular kelaparan yang sedang mencari mangsa.
Aku memperkuat sedotanku. Sementara tanganku meremas-remas payudara kanan Cintya yang montok dan kenyal itu. Kadang remasan kuperkuat dan kuperkecil menuju puncak bukitnya, dan kuakhiri dengan tekanan-tekanan kecil jari telunjuk dan ibu jariku pada putingnya.
“Mas Adi… hhh… geli… geli… enak… enak… ngilu… ngilu…”
Aku semakin gemas. Payudara aduhai Cintya itu kumainkan secara bergantian, antara sebelah kiri dan sebelah kanan. Bukit payudara kadang kusedot besarnya-besarnya dengan tenaga isap sekuat-kuatnya, kadang yang kusedot hanya putingnya dan kucepit dengan gigi atas dan lidah. Belahan lain kadang kuremas dengan daerah tangkap sebesar-besarnya dengan remasan sekuat-kuatnya, kadang hanya kupijit-pijit dan kupelintir-pelintir kecil puting yang mencuat gagah di puncaknya.
“Ah… Mas Adi… terus Mas Adi… terus… hzzz… ngilu… ngilu…” Cintya mendesis-desis keenakan. Hasratnya tampak sudah kembali tinggi. Matanya kadang terbeliak-beliak. Geliatan tubuhnya ke kanan-kini semakin sening fnekuensinya.
Sampai akhirnya Cintya tidak kuat mehayani senangan-senangan keduaku. Dia dengan gerakan eepat memehorotkan celana dalamku hingga tunun ke paha. Aku memaklumi maksudnya, segera kulepas eelana dalamku. Jan-jari tangan kanan Cintya yang mulus dan lembut kemudian menangkap kontholku yang sudah berdiri dengan gagahnya. Sejenak dia memperlihatkan rasa terkejut.
“Edan… Mas Adi, edan… Kontholmu besar sekali… Konthol pacan-pacanku dahulu dan juga konthol kak Dai tidak sampai sebesar in Edan… edan…,” ucapnya terkagum-kagum. Sambil membiankan mulut, wajah, dan tanganku terus memainkan dan menggeluti kedua belah payudaranya, jan-jari lentik tangan kanannya meremas­remas perlahan kontholku secara berirama, seolah berusaha mencari kehangatan dan kenikmatan di hiatnya menana kejantananku. Remasannya itu mempenhebat vohtase dam rasa nikmat pada batang kontholku.
“Mas Adi. kita main di atas kasur saja…,” ajak Cintya dengan sinar mata yang sudah dikuasai nafsu binahi.
Aku pun membopong tubuh telanjang Cintya ke ruang dalam, dan membaringkannya di atas tempat tidun pacarku. Ranjang pacarku ini amat pendek, dasan kasurnya hanya terangkat sekitar 6 centimeter dari lantai. KetCintya kubopong. Cintya tidak mau melepaskan tangannya dari leherku. Bahkan, begitu tubuhnya menyentuh kasur, tangannya menanik wajahku mendekat ke wajahnya. Tak ayal lagi, bibirnya yang pink menekan itu melumat bibirku dengan ganasnya. Aku pun tidak mau mengalah. Kulumat bibirnya dengan penuh nafsu yang menggelora, sementara tanganku mendekap tubuhnya dengan kuatnya. Kuhit punggungnya yang halus mulus kuremas-remas dengan gemasnya.
Kemudian aku menindih tubuh Cintya. Kontholku terjepit di antara pangkal pahanya yang mulus dan perut bawahku sendiri. Kehangatan kulit pahanya mengalir ke batang kontholku yang tegang dan keras. Bibirku kemudian melepaskan bibir sensual Cintya. Kecupan bibirku pun turun. Kukecup dagu Cintya yang bagus. Kukecup leher jenjang Cintya yang memancarkan bau wangi dan segarnya parfum yang dia pakai. Kuciumi dan kugeluti leher indah itu dengan wajahku, sementara pantatku mulai bergerak aktif sehingga kontholku menekan dan menggesek-gesek paha Cintya. Gesekan di kulit paha yang licin itu membuat batang kontholku bagai diplirit-plirit. Kepala kontholku merasa geli-geli enak oleh gesekan-gesekan paha Cintya.
Puas menggeluti leher indah, wajahku pun turun ke buah dada montok Cintya. Dengan gemas dan ganasnya aku membenamkan wajahku ke belahan dadanya, sementara kedua tanganku meraup kedua belah payudaranya dan menekannya ke arah wajahku. Keharuman payudaranya kuhirup sepuas-puasku. Belum puas dengan menyungsep ke belahan dadanya, wajahku kini menggesek-gesek memutar sehingga kedua gunung payudaranya tertekan-tekan oleh wajahku secara bergantian. Sungguh sedap sekali rasanya ketCintya hidungku menyentuh dan menghirup dalam-dalam daging payudara yang besar dan kenyal itu. Kemudian bibirku meraup puncak bukit payudara kiri Cintya. Daerah payudara yang kecoklat-coklatan beserta putingnya yang pink kecoklat-coklatan itu pun masuk dalam mulutku. Kulahap ujung payudara dan putingnya itu dengan bernafsunya, tak ubahnya seperti bayi yang menetek susu setelah kelaparan selama seharian. Di dalam mulutku, puting itu kukulum-kulum dan kumainkan dengan lidahku.
“Mas Adi… geli… geli …,“ kata Cintya kegelian.
Aku tidak perduli. Aku terus mengulum-kulum puncak bukit payudara Cintya. Putingnya terasa di lidahku menjadi keras. Kemudian aku kembali melahap puncak bukit payudara itu sebesar-besarnya. Apa yang masuk dalam mulutku kusedot sekuat-kuatnya. Sementara payudara sebelah kanannya kuremas sekuat-kuatnya
dengan tanganku. Hal tersebut kulakukan secara bergantian antara payudara kiri dan payudara kanan Cintya. Sementara kontholku semakin menekan dan menggesek-gesek dengan beriramanya di kulit pahanya. Cintya semakin menggelinjang-gelinjang dengan hebatnya.
“Mas Adi… Mas Adi… ngilu… ngilu… hihhh… nakal sekali tangan dan mulutmu… Auw! Sssh… ngilu… ngilu…,” rintih Cintya. Rintihannya itu justru semakin mengipasi api nafsuku. Api nafsuku semakin berkobar-kobar. Semakin ganas aku mengisap-isap dan meremas-remas payudara montoknya. Sementara kontholku berdenyut-denyut keenakan merasakan hangat dan licinnya paha Cintya.
Akhirnya aku tidak sabar lagi. Kulepaskan payudara montok Cintya dari gelutan mulut dan tanganku. Bibirku kini berpindah menciumi dagu dan lehernya, sementara tanganku membimbing kontholku untuk mencari liang memeknya. Kuputar-putarkan dahulu kepala kontholku di kelebatan jembut di sekitar bibir memek Cintya. Bulu-bulu jembut itu bagaCintyan menggelitiki kepala kontholku. Kepala kontholku pun kegelian. Geli tetapi enak.
“Mas Adi… masukkan seluruhnya Mas Adi… masukkan seluruhnya… Mas Adi belum pernah merasakan memek Mbak Maya kan? Mbak Maya orang kuno… tidak mau merasakan konthol sebelum nCintyah. Padahal itu surga dunia… bagai terhempas langit ke langit ketujuh. Mas Adi…”
Jan-jari tangan Cintya yang lentik meraih batang kontholku yang sudah amat tegang. Pahanya yang mulus itu dia buka agak lebar.
“Edan… edan… kontholmu besar dan keras sekali, Mas Adi…,” katanya sambil mengarahkan kepala kontholku ke lobang memeknya.
Sesaat kemudian kepala kontholku menyentuh bibir memeknya yang sudah basah. Kemudian dengan perlahan-lahan dan sambil kugetarkan, konthol kutekankan masuk ke liang memek. Kini seluruh kepala kontholku pun terbenam di dalam memek. Daging hangat berlendir kini terasa mengulum kepala kontholku dengan enaknya.
Aku menghentCintyan gerak masuk kontholku.
“Mas Adi… teruskan masuk, Bob… Sssh… enak… jangan berhenti sampai situ saja…,” Cintya protes atas tindakanku. Namun aku tidak perduli. Kubiarkan kontholku hanya masuk ke lobang memeknya hanya sebatas kepalanya saja, namun kontholku kugetarkan dengan amplituda kecil. Sementara bibir dan hidungku dengan ganasnya menggeluti lehernya yang jenjang, lengan tangannya yang harum dan mulus, dari ketiaknya yang bersih dari bulu ketiak. Cintya menggelinjang-gelinjang dengan tidak karuan.
“Sssh… sssh… enak… enak… geli… geli, Mas Adi. Geli… Terus masuk, Mas Adi…”
Bibirku mengulum kulit lengan tangannya dengan kuat-kuat. Sementara gerakan kukonsentrasCintyan pada pinggulku. Dan… satu… dua… tiga! Kontholku kutusukkan sedalam-dalamnya ke dalam memek Cintya dengan sangat cepat dan kuatnya. Plak! Pangkal pahaku beradu dengan pangkal pahanya yang mulus yang sedang dalam posisi agak membuka dengan kerasnya. Sementara kulit batang kontholku bagaCintyan diplirit oleh bibir dan daging lobang memeknya yang sudah basah dengan kuatnya sampai menimbulkan bunyi: srrrt!
“Auwww!” pekik Cintya.
Aku diam sesaat, membiarkan kontholku tertanam seluruhnya di dalam memek Cintya tanpa bergerak sedikit pun.
“Sakit Mas Adi… Nakal sekali kamu… nakal sekali kamu….” kata Cintya sambil tangannya meremas punggungku dengan kerasnya.
Aku pun mulai menggerakkan kontholku keluar-masuk memek Cintya. Aku tidak tahu, apakah kontholku yang berukuran panjang dan besar ataukah lubang memek Cintya yang berukuran kecil. Yang saya tahu, seluruh bagian kontholku yang masuk memeknya serasa dipijit-pijit dinding lobang memeknya dengan agak kuatnya. Pijitan dinding memek itu memberi rasa hangat dan nikmat pada batang kontholku.
“Bagaimana Cintya, sakit?” tanyaku
“Sssh… enak sekali… enak sekali… Barangmu besar dan panjang sekali… sampai-sampai menyumpal penuh seluruh penjuru lobang memekku…,” jawab Cintya.
Aku terus memompa memek Cintya dengan kontholku perlahan-lahan. Payudara kenyalnya yang menempel di dadaku ikut terpilin-pilin oleh dadaku akibat gerakan memompa tadi. Kedua putingnya yang sudah mengeras seakan-akan mengkilik-kilik dadaku yang bidang. Kehangatan payudaranya yang montok itu mulai terasa mengalir ke dadaku. Kontholku serasa diremas-remas dengan berirama oleh otot-otot memeknya sejalan dengan genjotanku tersebut. Terasa hangat dan enak sekali. Sementara setiap kali menusuk masuk kepala kontholku menyentuh suatu daging hangat di dalam memek Cintya. Sentuhan tersebut serasa menggelitiki kepala konthol sehingga aku merasa sedikit kegelian. Geli-geli nikmat.
Kemudian aku mengambil kedua kakinya yang kuning langsat mulus dan mengangkatnya. Sambil menjaga agar kontholku tidak tercabut dari lobang memeknya, aku mengambil posisi agak jongkok. Betis kanan Cintya kutumpangkan di atas bahuku, sementara betis kirinya kudekatkan ke wajahku. Sambil terus mengocok memeknya perlahan dengan kontholku, betis kirinya yang amat indah itu kuciumi dan kukecupi dengan gemasnya. Setelah puas dengan betis kiri, ganti betis kanannya yang kuciumi dan kugeluti, sementara betis kirinya kutumpangkan ke atas bahuku. Begitu hal tersebut kulakukan beberapa kali secara bergantian, sambil mempertahankan rasa nikmat di kontholku dengan mempertahankan gerakan maju-mundur perlahannya di memek Cintya.
Setelah puas dengan cara tersebut, aku meletakkan kedua betisnya di bahuku, sementara kedua telapak tanganku meraup kedua belah payudaranya. Masih dengan kocokan konthol perlahan di memeknya, tanganku meremas-remas payudara montok Cintya. Kedua gumpalan daging kenyal itu kuremas kuat-kuat secara berirama. Kadang kedua putingnya kugencet dan kupelintir-pelintir secara perlahan. Puting itu semakin mengeras, dan bukit payudara itu semakin terasa kenyal di telapak tanganku. Cintya pun merintih-rintih keenakan. Matanya merem-melek, dan alisnya mengimbanginya dengan sedikit gerakan tarCintyan ke atas dan ke bawah.
“Ah… Mas Adi, geli… geli… Tobat… tobat… Ngilu Mas Adi, ngilu… Sssh… sssh… terus Mas Adi, terus…. Edan… edan… kontholmu membuat memekku merasa enak sekali… Nanti jangan disemprotkan di luar memek, Mas Adi. Nyemprot di dalam saja… aku sedang tidak subur…”
Aku mulai mempercepat gerakan masuk-keluar kontholku di memek Cintya.
“Ah-ah-ah… benar, Mas Adi. benar… yang cepat… Terus Mas Adi, terus…”
Aku bagaCintyan diberi spirit oleh rintihan-rintihan Cintya. tenagaku menjadi berlipat ganda. Kutingkatkan kecepatan keluar-masuk kontholku di memek Cintya. Terus dan terus. Seluruh bagian kontholku serasa diremas­-remas dengan cepatnya oleh daging-daging hangat di dalam memek Cintya. Mata Cintya menjadi merem-melek dengan cepat dan indahnya. Begitu juga diriku, mataku pun merem-melek dan mendesis-desis karena merasa keenakan yang luar biasa.
“Sssh… sssh… Cintya… enak sekali… enak sekali memekmu… enak sekali memekmu…”
“Ya Mas Adi, aku juga merasa enak sekali… terusss… terus Mas Adi, terusss…”
Aku meningkatkan lagi kecepatan keluar-masuk kontholku pada memeknya. Kontholku terasa bagai diremas-remas dengan tidak karu-karuan.
“Mas Adi… Mas Adi… edan Mas Adi, edan… sssh… sssh… Terus… terus… Saya hampir keluar nih Mas Adi…
sedikit lagi… kita keluar sama-sama ya Booob…,” Cintya jadi mengoceh tanpa kendali.
Aku mengayuh terus. Aku belum merasa mau keluar. Namun aku harus membuatnya keluar duluan. Biar perempuan Sunda yang molek satu ini tahu bahwa lelaki Jawa itu perkasa. Biar dia mengakui kejantanan orang Jawa yang bernama Mas Adiby. Sementara kontholku merasakan daging-daging hangat di dalam memek Cintya bagaCintyan berdenyut dengan hebatnya.
“Mas Adi… Mas Adiby… Mas Adiby…,” rintih Cintya. Telapak tangannya memegang kedua lengan tanganku seolah mencari pegangan di batang pohon karena takut jatuh ke bawah.
lbarat pembalap, aku mengayuh sepeda balapku dengan semakin cepatnya. Bedanya, dibandingkan dengan pembalap aku lebih beruntung. Di dalam “mengayuh sepeda” aku merasakan keenakan yang luar biasa di sekujur kontholku. Sepedaku pun mempunyai daya tarik tersendiri karena mengeluarkan rintihan-rintihan keenakan yang tiada terkira.
“Mas Adi… ah-ah-ah-ah-ah… Enak Mas Adi, enak… Ah-ah-ah-ah-ah… Mau keluar Mas Adi… mau keluar… ah-ah-ah-ah-ah… sekarang ke-ke-ke…”
Tiba-tiba kurasakan kontholku dijepit oleh dinding memek Cintya dengan sangat kuatnya. Di dalam memek, kontholku merasa disemprot oleh cairan yang keluar dari memek Cintya dengan cukup derasnya. Dan telapak tangan Cintya meremas lengan tanganku dengan sangat kuatnya. Mulut sensual Cintya pun berteriak tanpa kendali:
“…keluarrr…!”
Mata Cintya membeliak-beliak. Sekejap tubuh Cintya kurasakan mengejang.
Aku pun menghentCintyan genjotanku. Kontholku yang tegang luar biasa kubiarkan diam tertanam dalam memek Cintya. Kontholku merasa hangat luar biasa karena terkena semprotan cairan memek Cintya. Kulihat mata Cintya kemudian memejam beberapa saat dalam menikmati puncak orgasmenya.
Setelah sekitar satu menit berlangsung, remasan tangannya pada lenganku perlahan-lahan mengendur. Kelopak matanya pun membuka, memandangi wajahku. Sementara jepitan dinding memeknya pada kontholku berangsur-angsur melemah. walaupun kontholku masih tegang dan keras. Kedua kaki Cintya lalu kuletakkan kembali di atas kasur dengan posisi agak membuka. Aku kembali menindih tubuh telanjang Cintya dengan mempertahankan agar kontholku yang tertanam di dalam memeknya tidak tercabut.
“Mas Adi… kamu luar biasa… kamu membawaku ke langit ke tujuh,” kata Cintya dengan mimik wajah penuh kepuasan. “Kak Dai dan pacar-pacarku yang dulu tidak pernah membuat aku ke puncak orgasme seperti ml. Sejak Mbak Maya tinggal di sini, Cintya suka membenarkan Mas Adi saat berhubungan dengan Kak Dai.”
Aku senang mendengar pengakuan Cintya itu. berarti selama aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku selalu membayangkan kemolekan tubuh Cintya dalam masturbasiku, sementara dia juga membayangkan kugeluti
dalam onaninya. Bagiku. Maya bagus dijadCintyan istri dan ibu anak-anakku kelak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tubuh aduhai Cintya enak digeluti dan digenjot dengan penuh nafsu.
“Mas Adi… kamu seperti yang kubayangkan. Kamu jantan… kamu perkasa… dan kamu berhasil membawaku ke puncak orgasme. Luar biasa nikmatnya…”
Aku bangga mendengar ucapan Cintya. Dadaku serasa mengembang. Dan bagai anak kecil yang suka pujian, aku ingin menunjukkan bahwa aku lebih perkasa dari dugaannya. Perempuan Sunda ini harus kewalahan menghadapi genjotanku. Perempuan Sunda ini harus mengakui kejantanan dan keperkasaanku. Kebetulan aku saat ini baru setengah perjalanan pendakianku di saat Cintya sudah mencapai orgasmenya. Kontholku masih tegang di dalam memeknya. Kontholku masih besar dan keras, yang hams menyemprotkan pelurunya agar kepalaku tidak pusing.
Aku kembali mendekap tubuh mulus Cintya, yang di bawah sinar lampu kuning kulit tubuhnya tampak sangat mulus dan licin. Kontholku mulai bergerak keluar-masuk lagi di memek Cintya, namun masih dengan gerakan perlahan. Dinding memek Cintya secara berargsur-angsur terasa mulai meremas-remas kontholku. Terasa hangat dan enak. Namun sekarang gerakan kontholku lebih lancar dibandingkan dengan tadi. Pasti karena adanya cairan orgasme yang disemprotkan oleh memek Cintya beberapa saat yang lalu.
“Ahhh… Mas Adi… kau langsung memulainya lagi… Sekarang giliranmu… semprotkan air manimu ke dinding-dinding memekku… Sssh…,” Cintya mulai mendesis-desis lagi.
Bibirku mulai memagut bibir merekah Cintya yang amat sensual itu dan melumat-lumatnya dengan gemasnya. Sementara tangan kiriku ikut menyangga berat badanku, tangan kananku meremas-remas payudara montok Cintya serta memijit-mijit putingnya, sesuai dengan mama gerak maju-mundur kontholku di memeknya.
“Sssh… sssh… sssh… enak Mas Adi, enak… Terus… teruss… terusss…,” desis bibir Cintya di saat berhasil melepaskannya dari serbuan bibirku. Desisan itu bagaCintyan mengipasi gelora api birahiku.
Sambil kembali melumat bibir Cintya dengan kuatnya, aku mempercepat genjotan kontholku di memeknya. Pengaruh adanya cairan di dalam memek Cintya, keluar-masuknya konthol pun diiringi oleh suara, “srrt-srret srrrt-srrret srrt-srret…” Mulut Cintya di saat terbebas dari lumatan bibirku tidak henti-hentinya mengeluarkan rintih kenikmatan,
“Mas Adi… ah… Mas Adi… ah… Mas Adi… hhb… Mas Adi… ahh…”
Kontholku semakin tegang. Kulepaskan tangan kananku dari payudaranya. Kedua tanganku kini dari ketiak Cintya menyusup ke bawah dan memeluk punggung mulusnya. Tangan Cintya pun memeluk punggungku dan mengusap-usapnya. Aku pun memulai serangan dahsyatku. Keluar-masuknya kontholku ke dalam memek Cintya sekarang berlangsung dengan cepat dan berirama. Setiap kali masuk, konthol kuhunjamkan keras-keras agar menusuk memek Cintya sedalam-dalamnya. Dalam perjalanannya, batang kontholku bagai diremas dan dihentakkan kuat-kuat oleh dinding memek Cintya. Sampai di langkah terdalam, mata Cintya membeliak sambil bibirnya mengeluarkan seruan tertahan, “Ak!” Sementara daging pangkal pahaku bagaCintyan menampar daging pangkal pahanya sampai berbunyi: plak! Di saat bergerak keluar memek, konthol kujaga agar kepalanya yang mengenakan helm tetap tertanam di lobang memek. Remasan dinding memek pada batang kontholku pada gerak keluar ini sedikit lebih lemah dibanding dengan gerak masuknya. Bibir memek yang mengulum batang kontholku pun sedikit ikut tertarik keluar, seolah tidak rela bila sampai ditinggal keluar oleh batang kontholku. Pada gerak keluar ini Bibir Cintya mendesah, “Hhh…”
Aku terus menggenjot memek Cintya dengan gerakan cepat dan menghentak-hentak. Remasan yang luar biasa kuat, hangat, dan enak sekali bekerja di kontholku. Tangan Cintya meremas punggungku kuat-kuat di saat kontholku kuhunjam masuk sejauh-jauhnya ke lobang memeknya. beradunya daging pangkal paha menimbulkan suara: Plak! Plak! Plak! Plak! Pergeseran antara kontholku dan memek Cintya menimbulkan bunyi srottt-srrrt… srottt-srrrt… srottt-srrrtt… Kedua nada tersebut diperdahsyat oleh pekCintyan-pekCintyan kecil yang merdu yang keluar dari bibir Cintya:
“Ak! Uhh… Ak! Hhh… Ak! Hhh…”
Kontholku terasa empot-empotan luar biasa. Rasa hangat, geli, dan enak yang tiada tara membuatku tidak kuasa menahan pekCintyan-pekCintyan kecil:
“lka… Cintya… edan… edan… Enak sekali Cintya… Memekmu enak sekali… Memekmu hangat sekali… edan… jepitan memekmu enak sekali…”
“Mas Adi… Mas Adi… terus Mas Adi rintih Cintya, “enak Mas Adi… enaaak… Ak! Ak! Ak! Hhh… Ak! Hhh… Ak! Hhh…”
Tiba-tiba rasa gatal menyelimuti segenap penjuru kontholku. Gatal yang enak sekali. Aku pun mengocokkan kontholku ke memeknya dengan semakin cepat dan kerasnya. Setiap masuk ke dalam, kontholku berusaha menusuk lebih dalam lagi dan lebih cepat lagi dibandingkan langkah masuk sebelumnya. Rasa gatal dan rasa enak yang luar biasa di konthol pun semakin menghebat.
“Cintya… aku… aku…” Karena menahan rasa nikmat dan gatal yang luar biasa aku tidak mampu menyelesaCintyan ucapanku yang memang sudah terbata-bata itu.
“Mas Adi… Mas Adi… Mas Adi! Ak-ak-ak… Aku mau keluar lagi… Ak-ak-ak… aku ke-ke-ke…”
Tiba-tiba kontholku mengejang dan berdenyut dengan amat dahsyatnya. Aku tidak mampu lagi menahan rasa gatal yang sudah mencapai puncaknya. Namun pada saat itu juga tiba-tiba dinding memek Cintya mencekik kuat sekali. Dengan cekCintyan yang kuat dan enak sekali itu. aku tidak mampu lagi menahan jebolnya bendungan dalam alat kelaminku.
Pruttt! Pruttt! Pruttt! Kepala kontholku terasa disemprot cairan memek Cintya, bersamaan dengan pekCintyan Cintya, “…keluarrrr…!” Tubuh Cintya mengejang dengan mata membeliak-beliak.
“Cintya…!” aku melenguh keras-keras sambil merengkuh tubuh Cintya sekuat-kuatnya, seolah aku sedang berusaha rnenemukkan tulang-tulang punggungnya dalam kegemasan. Wajahku kubenamkan kuat-kuat di lehernya yang jenjang. Cairan spermaku pun tak terbendung lagi.
Crottt! Crott! Croat! Spermaku bersemburan dengan derasnya, menyemprot dinding memek Cintya yang terdalam. Kontholku yang terbenam semua di dalam kehangatan memek Cintya terasa berdenyut-denyut.
Beberapa saat lamanya aku dan Cintya terdiam dalam keadaan berpelukan erat sekali, sampai-sampai dari alat kemaluan, perut, hingga ke payudaranya seolah terpateri erat dengan tubuh depanku. Aku menghabiskan sisa-sisa sperma dalam kontholku. Cret! Cret! Cret! Kontholku menyemprotkan lagi air mani yang masih tersisa ke dalam memek Cintya. Kali ini semprotannya lebih lemah.
Perlahan-lahan tubuh Cintya dan tubuhku pun mengendur kembali. Aku kemudian menciumi leher mulus Cintya dengan lembutnya, sementara tangan Cintya mengusap-usap punggungku dan mengelus-elus rambut kepalaku. Aku merasa puas sekali berhasil bermain seks dengan Cintya. Pertama kali aku bermain seks, bidadari lawan mainku adalah perempuan Sunda yang bertubuh kenyal, berkulit kuning langsat mulus, berpayudara besar dan padat, berpinggang ramping, dan berpinggul besar serta aduhai. Tidak rugi air maniku diperas habis-habisan pada pengalaman pertama ini oleh orang semolek Cintya.
“Mas Adi… terima kasih Mas Adi. Puas sekali saya. indah sekali… sungguh… enak sekali,” kata Cintya lirih.
Aku tidak memberi kata tanggapan. Sebagai jawaban, bibirnya yang indah itu kukecup mesra. Dalam keadaan tetap telanjang, kami berdekapan erat di atas tempat tidur pacarku. Dia meletakkan kepalanya di atas dadaku yang bidang, sedang tangannya melingkar ke badanku. Baru ketCintya jam dinding menunjukkan pukul 22:00, aku dan Cintya berpakaian kembali. Cintya sudah tahu kebiasaanku dalam mengapeli Maya, bahwa pukul 22:00 aku pulang ke tempat kost-ku sendiri.
Sebelum keluar kamar, aku mendekap erat tubuh Cintya dan melumat-lumat bibirnya beberapa saat.
“Mas Adi… kapan-kapan kita mengulangi lagi ya Mas Adi… Jangan khawatir, kita tanpa Cintyatan. Cintya akan selalu merahasiakan hal ini kepada siapapun, termasuk ke Kak Dai dan Mbak Maya. Cintya puas sekali bercumbu dengan Mas Adi,” begitu kata Cintya.
Aku pun mengangguk tanda setuju. Siapa sih yang tidak mau diberi kenikmatan secara gratis dan tanpa Cintyatan? Akhirnya dia keluar dari kamar dan kembali masuk ke rumahnya lewat pintu samping. Lima menit kemudian aku baru pulang ke tempat kost-ku.
 Sumber : ceritasekbebas.co.cc
Baca Artikel Lainya Di bawah ini :


Widget by dunia malam
Bookmark and Share

Comments :

0 komentar to “ngesek dengan abg bispak bandung”

Posting Komentar

Followers

 

Copyright © 2009 by DUNIA MALAM NEWS

Template by News | dunia malam