Subcribes

Senin, 12 April 2010

Mahasiswa dengan ibu dosen

Aku dilahirkan di kota M di propinsi Jawa Timur, kota yang panas karena terletak di dataran rendah. Selain tinggi badan seukuran orang-orang bule, kata temanku wajahku lumayan. Mereka bilang aku hitam manis. Sebagai laki-laki, aku juga bangga karena waktu SMA dulu aku banyak memiliki teman-teman perempuan. Walaupun aku sendiri tidak ada yang tertarik satupun di antara mereka. Mengenang saat-saat dulu aku kadang tersenyum sendiri, karena walau bagaimanapun kenangan adalah sesuatu yang berharga dalam diri kita. Apalagi kenangan manis.

Sekarang aku belajar di salah satu perguruan tinggi swasta di kota S, mengambil jurusan ilmu perhotelan. Aku duduk di tingkat akhir. Sebelum berangkat dulu, orangtuaku berpesan harus dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya. Maklum, keadaan ekonomi orangtuaku juga biasa-biasa saja, tidak kaya juga tidak miskin. Apalagi aku juga memiliki 3 orang adik yang nantinya juga akan kuliah seperti aku, sehingga perlu biaya juga. Aku camkan kata-kata orangtuaku. Dalam hati aku akan berjanji akan memenuhi permintaan mereka, selesai tepat pada waktunya.
Tapi para pembaca, sudah kutulis di atas bahwa segala sesuatu yang terjadi padaku tanpa aku dapat menyadarinya, sampai saat ini pun aku masih belum dapat menyelesaikan studiku hanya gara-gara satu mata kuliah saja yang belum lulus, yaitu mata kuliah yang berhubugan dengan hitung berhitung. Walaupun sudah kuambil selama empat semester, tapi hasilnya belum lulus juga. Untuk mata kuliah yang lain aku dapat menyelesaikannya, tapi untuk mata kuliah yang satu ini aku benar-benar merasa kesulitan.

“Coba saja kamu konsultasi kepada dosen pembimbing akademis..,” kata temanku Andi ketika kami berdua sedang duduk-duduk dalam kamar kost.
“Sudah, Di. Tapi beliau juga lepas tangan dengan masalahku ini. Kata beliau ini ditentukan oleh dirimu sendiri.” kataku sambil menghisap rokok dalam-dalam.
“Benar juga apa yang dikatakan beliau, Gi, semua ditentukan dari dirimu sendiri.” sahut Andi sambil termangu, tangannya sibuk memainkan korek api di depannya.
Lama kami sibuk tenggelam dalam pikiran kami masing-masing, sampai akhirnya Andi berkata, “Gini saja, Gi, kamu langsung saja menghadap dosen mata kuliah itu, ceritakan kesulitanmu, mungkin beliau mau membantu.” kata Andi.
Mendengar perkataan Andi, seketika aku langsung teringat dengan dosen mata kuliah yang menyebalkan itu. Namanya IBu Erni, umurnya kira-kira 35 tahun. Orangnya lumayan cantik, juga seksi, tapi banyak temanku begitu juga aku mengatakan IBu Erni adalah dosen killer, banyak temanku yang dibuat sebal olehnya. Maklum saja IBu Erni belum berkeluarga alias masih sendiri, perempuan yang masih sendiri mudah tersinggung dan sensitif.
“Waduh, Di, bagaimana bisa, dia dosen killer di kampus kita..,” kataku bimbang.
“Iya sih, tapi walau bagaimanapun kamu harus berterus terang mengenai kesulitanmu, bicaralah baik-baik, masa beliau tidak mau membantu..,” kata Andi memberi saran.
Aku terdiam sejenak, berbagai pertimbangan muncul di kepalaku. Dikejar-kejar waktu, pesan orang tua, dosen wanita yang killer.
Akhirnya aku berkata, “Baiklah Di, akan kucoba, besok aku akan menghadap beliau di kampus.”
“Nah begitu dong, segala sesuatu harus dicoba dulu,” sahut Andi sambil menepuk-nepuk pundakku.
Siang itu aku sudah duduk di kantin kampus dengan segelas es teh di depanku dan sebatang rokok yang menyala di tanganku. Sebelum bertemu IBu Erni aku sengaja bersantai dulu, karena bagaimanapun nanti aku akan gugup menghadapinya, aku akan menenangkan diri dulu beberapa saat. Tanpa aku sadari, tiba-tiba Andi sudah berdiri di belakangku sambil menepuk pundakku, sesaat aku kaget dibuatnya.
“Ayo Gi, sekarang waktunya. Bu Erni kulihat tadi sedang menuju ke ruangannya, mumpung sekarang tidak mengajar, temuilah beliau..!” bisik Andi di telingaku.
“Oke-oke..,” kataku singkat sambil berdiri, menghabiskan sisa es teh terakhir, kubuang rokok yang tersisa sedikit, kuambil permen dalam saku, kutarik dalam-dalam nafasku.
Aku langsung melangkahkan kaki.
“Kalau begitu aku duluan ya, Gi. Sampai ketemu di kost,” sahut Andi sambil meninggalkanku.
Aku hanya dapat melambaikan tangan saja, karena pikiranku masih berkecamuk bimbang, bagaimana aku harus menghadapai IBu Erni, dosen killer yang masih sendiri itu.
Perlahan aku berjalan menyusupi lorong kampus, suasana sangat lengang saat itu, maklum hari Sabtu, banyak mahasiswa yang meliburkan diri, lagipula kalau saja aku tidak mengalami masalah ini lebih baik aku tidur-tiduran saja di kamar kost, ngobrol dengan teman. Hanya karena masalah ini aku harus bersusah-susah menemui Bu Erni, untuk dapat membantuku dalam masalah ini.
Kulihat pintu di ujung lorong. Memang ruangan Bu Erni terletak di pojok ruangan, sehingga tidak ada orang lewat simpang siur di depan ruangannya. Kelihatan sekali keadaan yang sepi.
Pikirku, “Mungkin saja perempuan yang belum bersuami inginnya menyendiri saja.”
Perlahan-lahan kuketuk pintu, sesaat kemudian terdengar suara dari dalam, “Masuk..!”
Aku langsung masuk, kulihat Bu Erni sedang duduk di belakang mejanya sambil membuka-buka map. Kutup pintu pelan-pelan. Kulihat Bu Erni memandangku sambil tersenyum, sesaat aku tidak menyangka beliau tersenyum ramah padaku. Sedikit demi sedikit aku mulai dapat merasa tenang, walaupun masih ada sedikit rasa gugup di hatiku.
“Silakan duduk, apa yang bisa Ibu bantu..?” Bu Erni langsung mempersilakan aku duduk, sesaat aku terpesona oleh kecantikannya.
Bagaimana mungkin dosen yang begitu cantik dan anggun mendapat julukan dosen killer. Kutarik kursi pelan-pelan, kemudian aku duduk.
“Oke, Irvan, ada apa ke sini, ada yang bisa Ibu bantu..?” sekali lagi Bu Erni menanyakan hal itu kepadaku dengan senyumnya yang masih mengembang.
Perlahan-lahan kuceritakan masalahku kepada Bu Erni, mulai dari keinginan orangtua yang ingin aku agak cepat menyelesaikan studiku, sampai ke mata kuliah yang saat ini aku belum dapat menyelesaikannya.
Kulihat Bu Erni dengan tekun mendengarkan ceritaku sambil sesekali tersenyum kepadaku. Melihat keadaan yang demikian aku bertambah semangat bercerita, sampai pada akhirnya dengan spontan aku berkata, “Apa saja akan kulakukan Bu Erni, untuk dapat menyelesaikan mata kuliah ini. Mungkin suatu saat membantu Ibu membersihkan rumah, contohnya mencuci piring, mengepel, atau yah, katakanlah mencuci baju pun aku akan melakukannya demi agar mata kuliah ini dapat saya selesaikan. Saya mohon sekali, berikanlah keringanan nilai mata kuliah Ibu pada saya.”
Mendengar kejujuran dan perkataanku yang polos itu, kulihat Bu Erni tertawa kecil sambil berdiri menghampiriku, tawa kecil yang kelihatan misterius, dimana aku tidak dapat mengerti apa maksudnya.
“Apa saja Irvan..?” kata Bu Erni seakan menegaskan perkataanku tadi yang secara spontan keluar dari mulutku tadi dengan nada bertanya.
“Apa saja Bu..!” kutegaskan sekali lagi perkataanku dengan spontan.
Sesaat kemudian tanpa kusadari Bu Erni sudah berdiri di belakangku, ketika itu aku masih duduk di kursi sambil termenung. Sejenak Bu Erni memegang pundakku sambil berbisik di telingaku.
“Apa saja kan Irvan..?”
Aku mengangguk sambil menunduk, saat itu aku belum menyadari apa yang akan terjadi. Tiba-tiba saja dari arah belakang, Bu Erni sudah menghujani pipiku dengan ciuman-ciuman lembut, sebelum sempat aku tersadar apa yang akan terjadi. Bu Erni tiba-tiba saja sudah duduk di pangkuanku, merangkul kepalaku, kemudian melumatkan bibirnya ke bibirku. Saat itu aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, seketika kedua tangan Bu Erni memegang kedua tanganku, lalu meremas-remaskan ke payudaranya yang sudah mulai mengencang.
Aku tersadar, kulepaskan mulutku dari mulutnya.
“Bu, haruskah kita..”
Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, telunjuk Bu Erni sudah menempel di bibirku, seakan menyuruhku untuk diam.
“Sudahlah Irvan, inilah yang Ibu inginkan..”
Setelah berkata begitu, kembali Bu Erni melumat bibirku dengan lembut, sambil membimbing kedua tanganku untuk tetap meremas-remas payudaranya yang montok karena sudah mengencang.
Akhirnya timbul hasrat kelelakianku yang normal, seakan terhipnotis oleh reaksi Bu Erni yang menggairahkan dan ucapannya yang begitu pasrah, kami berdua tenggelam dalam hasrat seks yang sangat menggebu-gebu dan panas. Aku membalas melumat bibirnya yang indah merekah sambil kedua tanganku terus meremas-remas kedua payudaranya yang masih tertutup oleh baju itu tanpa harus dibimbing lagi. Tangan Bu Erni turun ke bawah perutku, kemudian mengusap-usap kemaluanku yang sudah mengencang hebat. Dilanjutkan kemudian satu-persatu kancing-kancing bajuku dibuka oleh Bu Erni, secara reflek pula aku mulai membuka satu-persatu kancing baju Bu Erni sambil terus bibirku melumat bibirnya.
Setelah dapat membuka bajunya, begitu pula dengan bajuku yang sudah terlepas, gairah kami semakin memuncak, kulihat kedua payudara Bu Erni yang memakai BH itu mengencang, payudaranya menyembul indah di antara BH-nya. Kuciumi kedua payudara itu, kulumat belahannya, payudara yang putih dan indah. Kudengar suara Bu Erni yang mendesah-desah merasakan kenikmatan yang kuberikan. Kedua tangan Bu Erni mengelus-elus dadaku yang bidang. Lama aku menciumi dan melumat kedua payudaranya dengan kedua tanganku yang sesekali meremas-remas dan mengusap-usap payudara dan perutnya.
Akhirnya kuraba tali pengait BH di punggungnya, kulepaskan kancingnya, setelah lepas kubuang BH ke samping. Saat itu aku benar-benar dapat melihat dengan utuh kedua payudara yang mulus, putih dan mengencang hebat, menonjol serasi di dadanya. Kulumat putingnya dengan mulutku sambil tanganku meremas-remas payudaranya yang lain. Puting yang menonjol indah itu kukulum dengan penuh gairah, terdengar desahan nafas Bu Erni yang semakin menggebu-gebu.
“Oh.., oh.., Irvan.. teruskan.., teruskan Irvan..!” desah Bu Erni dengan pasrah dan memelas.
Melihat kondisi seperti itu, kejantananku semakin memuncak. Dengan penuh gairah yang mengebu-gebu, kedua puting Bu Erni kukulum bergantian sambil kedua tanganku mengusap-usap punggungnya, kedua puting yang menonjol tepat di wajahku. Payudara yang mengencang keras.
Lama aku melakukannya, sampai akhirnya sambil berbisik Bu Erni berkata, “Angkat aku ke atas meja Irvan.., ayo angkat aku..!”
Spontan kubopong tubuh Bu Erni ke arah meja, kududukkan, kemudian dengan reflek aku menyingkirkan barang-barang di atas meja. Map, buku, pulpen, kertas-kertas, semua kujatuhkan ke lantai dengan cepat, untung lantainya memakai karpet, sehingga suara yang ditimbulkan tidak terlalu keras.
Masih dalam keadaan duduk di atas meja dan aku berdiri di depannya, tangan Bu Erni langsung meraba sabukku, membuka pengaitnya, kemudian membuka celanaku dan menjatuhkannya ke bawah. Serta-merta aku segera membuka celana dalamku, dan melemparkannya ke samping.
Kulihat Bu Erni tersenyum dan berkata lirih, “Oh.. Irvan.., betapa jantannya kamu.. kemaluanmu begitu panjang dan besar.. Oh.. Irvan, aku sudah tak tahan lagi untuk merasakannya.”
Aku tersenyum juga, kuperhatikan tubuh Bu Erni yang setengah telanjang itu.
Kemudian sambil kurebahkan tubuhnya di atas meja dengan posisi aku berdiri di antara kedua pahanya yang telentang dengan rok yang tersibak sehingga kelihatan pahanya yang putih mulus, kuciumi payudaranya, kulumat putingnya dengan penuh gairah, sambil tanganku bergerilya di antara pahanya. Aku memang menginginkan pemanasan ini agak lama, kurasakan tubuh kami yang berkeringat karena gairah yang timbul di antara aku dan Bu Erni. Kutelusuri tubuh Bu Erni yang setengah telanjang dan telentang itu mulai dari perut, kemudian kedua payudaranya yang montok, lalu leher. Kudengar desahan-desahan dan rintihan-rintihan pasrah dari mulut Bu Erni.
Sampai ketika Bu Erni menyuruhku untuk membuka roknya, perlahan-lahan kubuka kancing pengait rok Bu Erni, kubuka restletingnya, kemudian kuturunkan roknya, lalu kujatuhkan ke bawah. Setelah itu kubuka dan kuturunkan juga celana dalamnya. Seketika hasrat kelelakianku semakin menggebu-gebu demi melihat tubuh Bu Erni yang sudah telanjang bulat, tubuh yang indah dan seksi, dengan gundukan daging di antara pahanya yang ditutupi oleh rambut yang begitu rimbun.
Terdengar Bu Erni berkata pasrah, “Ayolah Irvan.., apa yang kau tunggu..? Ibu sudah tak tahan lagi.”
Kurasakan tangan Bu Erni menggenggam kemaluanku, menariknya untuk lebih mendekat di antara pahanya. Aku mengikuti kemauan Bu Erni yang sudah memuncak itu, perlahan tapi pasti kumasukkan kemaluanku yang sudah mengencang keras layaknya milik kuda perkasa itu ke dalam vagina Bu Erni. Kurasakan milik Bu Erni yang masih agak sempit. Akhirnya setelah sedikit bersusah payah, seluruh batang kemaluanku amblas ke dalam vagina Bu Erni.
Terdengar Bu Erni merintih dan mendesah, “Oh.., oh.., Irvan.. terus Irvan.. jangan lepaskan Irvan.. aku mohon..!”
Tanpa pikir panjang lagi disertai hasratku yang sudah menggebu-gebu, kugerakkan kedua pantatku maju-mundur dengan posisi Bu Erni yang telentang di atas meja dan aku berdiri di antara kedua pahanya.
Mula-mula teratur, seirama dengan goyangan-goyangan pantat Bu Erni. Sering kudengar rintihan-rintihan dan desahan Bu Erni karena menahan kenikmatan yang amat sangat. Begitu juga aku, kuciumi dan kulumat kedua payudara Bu Erni dengan mulutku.
Kurasakan kedua tangan Bu Erni meremas-remas rambutku sambil sesekali merintih, “Oh.. Irvan.. oh.. Irvan.. jangan lepaskan Irvan, kumohon..!”
Mendengar rintihan Bu Erni, gairahku semakin memuncak, goyanganku bertambah ganas, kugerakkan kedua pantatku maju-mundur semakin cepat.
Terdengar lagi suara Bu Erni merintih, “Oh.. Irvan.. kamu memang perkasa.., kau memang jantan.. Irvan.. aku mulai keluar.. oh..!”
“Ayolah Bu.., ayolah kita mencapai puncak bersama-sama, aku juga sudah tak tahan lagi,” keluhku.
Setelah berkata begitu, kurasakan tubuhku dan tubuh Bu Erni mengejang, seakan-akan terbang ke langit tujuh, kurasakan cairan kenikmatan yang keluar dari kemaluanku, semakin kurapatkan kemaluanku ke vagina Bu Erni. Terdengar keluhan dan rintihan panjang dari mulut Bu Erni, kurasakan juga dadaku digigit oleh Bu Erni, seakan-akan nmenahan kenikmatan yang amat sangat.
“Oh.. Irvan.. oh.. oh.. oh..”
Setelah kukeluarkan cairan dari kemaluanku ke dalam vagina Bu Erni, kurasakan tubuhku yang sangat kelelahan, kutelungkupkan badanku di atas badan Bu Erni dengan masih dalam keadan telanjang, agak lama aku telungkup di atasnya.
Setelah kurasakan kelelahanku mulai berkurang, aku langsung bangkit dan berkata, “Bu, apakah yang sudah kita lakukan tadi..?”
Kembali Bu Erni memotong pembicaraanku, “Sudahlah Irvan, yang tadi itu biarlah terjadi karena kita sama-sama menginginkannya, sekarang pulanglah dan ini alamat Ibu, Ibu ingin cerita banyak kepadamu, kamu mau kan..?”
Setelah berkata begitu, Bu Erni langsung menyodorkan kartu namanya kepadaku. Kuterima kartu nama yang berisi alamat itu.
Sejenak kutermangu, kembali aku dikagetkan oleh suara Bu Erni, “Irvan, pulanglah, pakai kembali pakaianmu..!”
Tanpa basa-basi lagi, aku langsung mengenakan pakaianku, kemudian membuka pintu dan keluar ruangan. Dengan gontai aku berjalan keluar kampus sambil pikiranku berkecamuk dengan kejadian yang baru saja terjadi antara aku dengan Bu Erni. Aku telah bermain cinta dengan dosen killer itu. Bagaimana itu bisa terjadi, semua itu diluar kehendakku. Akhirnya walau bagaimanapun nanti malam aku harus ke rumah Bu Erni.
Kudapati rumah itu begitu kecil tapi asri dengan tanaman dan bunga di halaman depan yang tertata rapi, serasi sekali keadannya. Langsung kupencet bel di pintu, tidak lama kemudian Bu Erni sendiri yang membukakan pintu, kulihat Bu Erni tersenyum dan mempersilakan aku masuk ke dalam. Kuketahui ternyata Bu Erni hidup sendirian di rumah ini. Setelah duduk, kemudian kami pun mengobrol. Setelah sekian lama mengobrol, akhirnya kuketahui bahwa Bu Erni selama ini banyak dikecewakan oleh laki-laki yang dicintainya. Semua laki-laki itu hanya menginginkan tubuhnya saja bukan cintanya. Setelah bosan, laki-laki itu meninggalkan Bu Erni. Lalu dengan jujur pula dia memintaku selama masih menyelesaikan studi, aku dimintanya untuk menjadi teman sekaligus kekasihnya. Akhirnya aku mulai menyadari bahwa posisiku tidak beda dengan gigolo.
Kudengar Bu Erni berkata, “Selama kamu masih belum wisuda, tetaplah menjadi teman dan kekasih Ibu. Apa pun permintaanmu kupenuhi, uang, nilai mata kuliahmu agar lulus, semua akan Ibu penuhi, mengerti kan Irvan..?”
Selain melihat kesendirian Bu Erni tanpa ada laki-laki yang dapat memuaskan hasratnya, aku pun juga mempertimbangkan kelulusan nilai mata kuliahku. Akhirnya aku pun bersedia menerima tawarannya.
Akhirnya malam itu juga aku dan Bu Erni kembali melakukan apa yang kami lakukan siang tadi di ruangan Bu Erni, di kampus. Tetapi bedanya kali ini aku tidak canggung lagi melayani Bu Erni dalam bercinta. Kami bercinta dengan hebat malam itu, 3 kali semalam, kulihat senyum kepuasan di wajah Bu Erni. Walau bagaimanapun dan entah sampai kapan, aku akan selalu melayani hasrat seksualnya yang berlebihan, karena memang ada jaminan mengenai kelulusan mata kuliahku yang tidak lulus-lulus itu dari dulu.
Sumber : ceritasekbebas.co.cc
Baca Artikel Lainya Di bawah ini :


Widget by dunia malam
Bookmark and Share

Comments :

0 komentar to “Mahasiswa dengan ibu dosen”

Posting Komentar

Followers

 

Copyright © 2009 by DUNIA MALAM NEWS

Template by News | dunia malam